Macetnya Komunikasi Publik: Soal Pajak Sembako yang Sempat Bikin Mules.

Faktanya memang sempat bikin mules publik lantaran informasi yang sepotong-sepotong. Tambah runyam lagi setelah digoreng berkali-kali oleh para oposan.Publik yang “sempat mules” inilah yang kesannya mengalami semacam ‘public-bullying’. Dan ini tentu tidak sehat.

Dari diskusi virtual bersama Prof.Riant Nugroho baru-baru ini kita dicerahkan, bahwa isu seputar pajak untuk sembako itu sesungguhnyalah “cuma” soal Komunikasi Publik yang lemah dari pihak pemerintah sendiri.

Di sini kita mesti membedakan antara kata “sosialisasi publik” dengan kata “komunikasi publik”. Kata “sosialisasi” terkesan sebagai sebuah kata yang “angkuh”. Mengapa? Ya lantaran sosialisasi artinya kita sudah punya kebijakan publik yang final (bulat) dan mesti “diberitahu” kepada publik seluas-luasnya.Publik tinggal mendengar saja,dan sebisa mungkin mencerna dan menerimanya,begitu saja.

Sedangkan dalam terminologi “komunikasi publik” ada proses diskusi yang membangun suatu diskursus (wacana) publik terlebih dahulu sebelum suatu kebijakan dirumuskan. Ada sebuah lingkaran dialektika yang terjadi. Proses pelibatan dan pembelajaran publik.

Akibat lemahnya komunikasi-publik, kebingungan sempat terjadi, sehingga rentetan pesan yang dilancarkan oleh Kemenkeu adalah demi manangkis segala serangan (berupa kritik dan mungkin juga banyak cemoohan yang tidak bermutu).

Kata-kata seperti, “Ah…itu hoaks!” dan yang sejenisnya jadi modal pemerintah untuk mengklarifikasi isu yang sudah keburu bikin rakyat banyak mules.Tambah lagi para oposan yang menjadikan isu ini bahan gorengan untuk mendiskreditkan pemerintah. Ini yang paling konyol.

Seperti misalnya Rizal Ramli yang terkesan menuduh Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) sebagi pihak yang menzalimi masyarakat. Sementara kita pun maklum bahwa SMI itu pun hanya sasaran antara untuk menuju ke sasaran utama,yaitu Jokowi. Kok tega-teganya… begitu ujarnya.

Maka sampai di sini kita pun mahfum dengan pernyataan dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang “mempertanyakan tentang rencana pengenaan PPN sembako” itu. Mohon dijelaskan, bagaimana persisnya kebijakan pengenaan pajak sembako yang tidak membabi-buta itu seperti apa? Supaya masyarakat mengerti dengan jelas.

Lantaran itulah sambungan dari suara masyarakat bawah tentang rencana kebijakan pemerintah yang – katanya – “bocor” itu.Lho kok dibilang bocor sih? Kenapa mesti pakai istilah “bocor”? apakah kebijakan ini rahasia? Rakyat kebanyakan atau kaum cendekiawan tak boleh ikut sumbang saran dalam proses pembahasannya? Atau bagaimana?

Okelah,sekarang ‘to cut long story short’, kita hanya menyarankan agar program “komunikasi publik” dari pemerintah bisa direvitalisasi.Bukan lagi sekedar “sosialisasi” ini dan itu, tapi sungguh-sungguh membangun “komunikasi-publik” untuk setiap kebijakan yang akan diambil.

Maka di sini mesti ada koordinasi dan orkestrasi dari perumus dan pengambil kebijakan. Di level pemerintah pusat sudah ada Kantor Staf Presiden (yang seyogianya menjadi semacam ‘west-wing” di white-house sana).

Juga ada Kemenkominfo yang mestinya punya jurus-jurus ampuh untuk membangun komunikasi-publik dalam perumusan kebijakan pemerintah.Di samping divisi humas dan stafsus di setiap kementerian,lalu ada juga para jubir (juru bicara) presiden atau juru bicara istana. Apa pula peran mereka.Siapa yang mengorkestrasi mereka itu semua?

Bukankah instrumen komunikasi-publik pemerintah seperti yang disinggung di atas sudah lebih dari cukup? Lebih dari cukup ditilik dari segi kompetensi individualnya yang memang para cerdik-pandai, juga fasilitas dan infrastruktur yang mendukungnya pun sudah disediakan.

Sehingga,kalau saja itu semua bisa digerakkan dalam suatu orkestrasi yang harmonis dari Kantor Staf Presiden (yang bergerak di belakang layar),tentu tidak akan membuat seorang Menteri Keuangan terbaik di dunia mesti tergopoh-gopoh blusukan ke Pasar Santa.

Itu pun hanya sekedar untuk menangkis hoaks para penggoreng isu pajak sembako yang memang sudah keterlaluan.Namun,masak sih kerepotan pejabat tinggi negara hanya diisi dengan kegiatan menangkis hoaks?//

Andre Vincent Wenas, pemerhati Ekonomi-Politik.

Tinggalkan Balasan