Tiba-tiba muncul berita bertajuk, “Muncul Isu Penangguhan Penahanan Hasto Ditukar Retret, Pengacara: Bukan Bahasan Kami” (DetikNews, Minggu, 23 Feb 2025 pukul 21:39 WIB). Fenomena ini membuktikan satu hal penting, bahwa PDIP-lah yang selama ini melakukan politisasi hukum.
Memang beredar isu penangguhan (penundaan) keikutsertaan retret kepala daerah kader PDIP itu mau ditukar dengan persetujuan penangguhan penahanan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Kalau benar, permintaan atau persyaratan pihak PDIP ini sangatlah absurd.
Menurut pengertiannya kata absurd itu adalah suatu kata sifat yang berarti tidak masuk akal, mustahil, konyol, atau menggelikan. Absurd berasal dari kata Latin absurdus yang artinya “di luar batas” atau “tidak masuk akal”.
Kasus Hasto yang ditahan KPK adalah sesuai aturan untuk diproses lebih lanjut. Tim hukum PDIP sudah dipersilahkan untuk mengajukan keberatan atau tindakan lain sepanjang berada dalam koridor aturan yang berlaku.
Tapi rupanya teguran Gus Dur dulu terhadap Megawati masih berlaku sampai sekarang, “…kepemimpinan Megawati tidak menghargai kedaulatan hukum melainkan penyelesaian politik.”
Menurut uraian DetikNews, isu mengenai pertukaran retret kepala daerah kader PDIP dengan penangguhan penahanan Hasto itu beredar di sosial media. Dalam kabar beredar itu, disebutkan kepala daerah akan diijinkan bergabung ke retret pada Senin, 24 Februari 2025 setelah penahanan Hasto ditangguhkan.
Kalau benar demikian ini merupakan skandal yang amat sangat memalukan dan amat melecehkan supremasi hukum. Terminologi yang sering diucapkan oleh Hasto sendiri, yaitu politisasi hukum.
Walau pun secara formal saat dikonfirmasi terpisah, kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail mengaku tidak tahu menahu mengenai kabar tersebut. Katanya tim hukum Hasto tidak ikut-ikutan saat membicarakan soal retret kepala daerah di Magelang.
Entah ke arah mana permintaan penangguhan penahanan Hasto ini ditujukan. Apakah minta Presiden Prabowo agar cawe-cawe soal penahanan Hasto ini, atau ke KPK? Atau ke Jokowi? Tidak jelas, karena memang semakin ngawur.
Yang jelas Megawati memang ngamuk dan ngambek, sampai akhirnya mengeluarkan surat nomor 7294/IN/DPP/II/2025 perihal Instruksi Harian Ketua Umum. Surat instruksi yang terbit usai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penahanan terhadap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Di surat itu Megawati meminta kepala daerah yang telah berangkat menuju retreat untuk berhenti hingga adanya perintah selanjutnya. Surat tertanggal 20 Februari 2025 tersebut langsung ditandatangani oleh Megawati sendiri.
Aneh juga, biasanya Hasto atau Megawati yang selalu berseru-seru mengenai pelanggaran menyangkut politisasi hukum, sekarang malah mereka sendiri yang memolitisasi perkara hukum.Kasihan sebetulnya para kepala daerah dari PDIP yang masih terombang-ambing di sekitaran Akademi Militer Magelang. Ibaratnya sudah sangat dekat lokasi tapi tidak bisa masuk ke lokasi.
Mereka keleleran di warung kopi (café) sekitaran situ. Akhirnya diakomodasi di kantor DPD PDIP Yogyakarta. Mereka seperti anak-anak SD yang dihukum kepala sekolah tidak boleh masuk kelas. Lalu nongkrong di sekitaran pagar sekolah.
Kader-kader PDIP yang ada di dalam dan sudah ikut retret sejak awal maupun mereka yang masih disetrap di luar komplek Akmil Magelang sama-sama seperti orang linglung ketika ditanya wartawan.
Ada yang masih mau menjawab walau jawabannya sumir, ada yang malah tidak mau menjawab sama sekali. Bungkam, silence is golden pikirnya.
Menurut Wamendagri Bima Arya, mereka yang ikut retret full sejak awal bakal dapat sertifikat kelulusan. Sedangkan yang absen dan baru ikut nanti hanya dapat sertifikat tanda kepesertaan.Begitulah drama absurd penundaan keikutsertaan retret dengan drama penangguhan panahanan Hasto. Apakah sudah jelas keterkaitannya kedua kasus itu? Tentu tidak.
Namanya juga absurd, alias tidak masuk akal, mustahil, konyol dan menggelikan. Silahkan bingung.
Jakarta, Senin 24 Februari 2025//Andre Vincent Wenas,MM,MBA., Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.