Oleh: Andre Vincent Wenas
Program hilirisasi yang dieksekusi dengan tegas dan konsisten oleh Jokowi telah membuat beberapa negara asing mesti menelan pil pahit.
Mereka dulu memperoleh bahan mentah dengan murah, lalu memprosesnya di negara mereka untuk menciptakan nilai tambah berlipat. Untuk melanggengkan praktek ini mereka mesti memastikan status-quo.
Begitulah praktek perdagangan internasional yang sudah beberapa dekade kita jalani. Kata para eksportir bahan mentah atau importirnya di negara-negara tujuan, Indonesia khan sudah beruntung mendapatkan mereka sebagai pembeli bahan-bahan mentah itu.
Jokowi dalam pengakuannya sendiri bilang soal pada awalnya ada resistensi dari dalam negeri. Menyetop ekspor bahan mentah perlu nyali sang pempimpin, perlu keberanian yang luar biasa.
Para mafia tambang yang berkolaborasi dengan para agen pembelinya di luar negeri sontak saja melakukan perlawanan. Retaliasi dilakukan dengan cara halus maupun kasar. Black-campaign pun dihalalkan demi menggagalkan program hilirisasi ini.
Padahal kita sadar sepenuhnya, sejak dulu kita sudah bicara soal “value added economy”. Professor BJ Habibie melompat terlalu jauh dan cepat melampaui jamannya, sehingga pesawat-pesawatnya mesti parkir di hangar. Tapi ide dasarnya benar. Indonesia punya modal dasarnya: Manusia Indonesia dan penguasaan teknologi.
Sekarang tampil Jokowi dengan gaya berpolitiknya yang mengalir seperti arus bawah yang tak terlihat namun kuatnya luar biasa. Tak terbendung. Tetap tersenyum namun perjuangannya merajut koalisi besar terus melaju. Senyum yang sulit ditebak artinya.
Koalisi besar untuk apa? Untuk mengentaskan Indonesia dari “middle-income trap”. Kita sudah bertahun-tahun ada dalam pusaran itu, jangan sampai terlena seperti negara-negara Amerika Latin.
Adalah “real-politics” Indonesia untuk merajut koalisi besar, karena tanpanya mustahil memutar roda pemerintahan secara efektif. Gotong royong.
Jokowi belajar soal ini dalam lima tahun masa pemerintahannya yang pertama. Tak mau terulang lagi di lima tahun kedua, ia terus merajut koalisi besar itu. Konsisten dan persisten.
Konstitusi membatasi dua termin, sehingga sebagai negarawan yang punya cita-cita (visi) besar Indonesia Emas, ia terus merajut. Prabowo dan Ganjar seyogianya bersatu, tapi ego primordialistik sementara pihak mengganjal hasrat itu.
Show of force yang sebetulnya tidak perlu pun dilakukan, misalnya “proyek menggagalkan piala dunia U20”. Berbagai manuver politik kita alami sampai akhirnya sekarang menjelang hari pencoblosan. Manuver terakhir adalah meluncurkan film propaganda “Dirty Vote”.
Mereka lupa bahwa pada awalnya Gibran tak ada dalam skenario koalisi besar. Gibran mesti masuk pentas lantaran figur inilah yang bisa mempertahankan koalisi besar. Kompromi.
Koalisi besar atau gotong-royong membawa Indonesia menuju era keemasannya.
Etika politiknya jadi ala Bung Karno, rawe-rawe rantas malang-malang putung – apa saja yang merintangi maksud dan tujuan harus disingkirkan. Apa boleh buat.
Secara harafiah artinya adalah tanaman yang menjulur-julur harus dibabat sampai habis dan yang menghalang-halangi jalan harus dipatahkan. Reputasi pun dipertaruhkan.
Rintangan datang dari dalam negeri maupun dari luar negeri, dari negara-negara asing yang terkena dampak program hilirisasi.
Tapi ingat, kesempatan emas kita ada di tiga masa kepemimpinan kedepan. Manfaatkan, atau tetap berkubang dalam jebakan “middle-income trap” itu.
Jakarta, Senin 12 Februari 2024 //Andre Vincent Wenas,MM,MBA., Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.