China saat ini menghadapi krisis properti terbesar dalam sejarahnya, dengan jutaan rumah tak terjual dan sektor manufaktur yang melemah. Data terbaru menunjukkan bahwa hampir empat juta apartemen kosong dan 10 juta apartemen lainnya belum selesai dibangun oleh para pengembang yang kini bangkrut. Krisis ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah China untuk mengatasi, mengingat properti telah menjadi pilar penting bagi pertumbuhan ekonomi negara tersebut selama beberapa dekade terakhir.
Langkah-langkah Pemerintah China
Presiden Xi Jinping dan para pejabatnya telah mengumumkan langkah-langkah untuk mengurangi kelebihan stok rumah, termasuk pembelian properti oleh pemerintah untuk dijadikan perumahan sosial dengan biaya rendah. Beijing telah mengalokasikan $41,5 miliar untuk mendanai pinjaman bagi perusahaan milik negara untuk membeli properti yang tidak laku, yang meliputi sekitar delapan miliar kaki persegi, termasuk lebih dari empat miliar kaki persegi apartemen yang belum terjual.
Namun, para kritikus menyatakan bahwa dana tersebut tidak cukup untuk menyelesaikan masalah yang memerlukan hingga ratusan miliar dolar. Banyak pengamat berpendapat bahwa langkah ini datang terlambat dan tidak memadai untuk membalikkan penurunan harga properti yang sudah terjadi selama beberapa tahun terakhir.
Dampak Terhadap Sektor Manufaktur
Krisis properti ini tidak hanya mempengaruhi pasar perumahan tetapi juga berdampak pada sektor lain, termasuk manufaktur. Pada bulan Mei, indeks PMI manufaktur China turun menjadi 49,5 dari 50,4 di bulan April, menunjukkan kontraksi dalam aktivitas pabrik. Hal ini mencerminkan melemahnya permintaan domestik dan penurunan penjualan ritel, yang semuanya terkait dengan kejatuhan sektor properti.
Kondisi dan Tantangan Masa Depan
Sementara pemerintah China berusaha untuk merangsang pasar properti dengan berbagai kebijakan, seperti pemotongan suku bunga hipotek dan insentif bagi pembeli rumah pertama, hasilnya belum terlihat signifikan. Para ekonom menyarankan perlunya langkah-langkah lebih komprehensif untuk mengatasi masalah mendasar dalam sektor properti, termasuk memperbaiki saluran kredit dan mengatasi utang yang membebani pengembang dan bank lokal.
Dampak bagi Indonesia
Krisis properti dan manufaktur di China memiliki dampak signifikan bagi ekonomi global, termasuk Indonesia. China merupakan mitra dagang utama Indonesia, dan melemahnya ekonomi China dapat mengurangi permintaan atas ekspor Indonesia, terutama di sektor komoditas seperti batubara dan minyak kelapa sawit. Selain itu, investor China yang biasanya aktif dalam proyek infrastruktur di Indonesia mungkin akan mengurangi investasi mereka, mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Pelemahan ekonomi China juga dapat menyebabkan volatilitas di pasar keuangan global, yang dapat mempengaruhi nilai tukar Rupiah dan stabilitas pasar modal di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia perlu mempersiapkan langkah-langkah mitigasi untuk menghadapi potensi dampak negatif ini, seperti diversifikasi pasar ekspor dan memperkuat pasar domestik untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap stabil.
Kesimpulan
Krisis properti yang sedang berlangsung di China menunjukkan tantangan besar bagi pemerintah dalam mengelola ekonomi yang sangat bergantung pada sektor properti. Langkah-langkah yang diambil sejauh ini dianggap belum memadai oleh banyak pengamat, dan ada kebutuhan mendesak untuk solusi yang lebih komprehensif. Dampak dari krisis ini juga dirasakan di negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang perlu bersiap menghadapi kemungkinan penurunan permintaan ekspor dan investasi dari China. (Awaludin)
Sumber berita:
- https://ekonomi.bisnis.com/read/20240531/620/1770008/krisis-properti-china-60-juta-rumah-tak-ada-yang-mau-beli
- https://www.nytimes.com/2024/05/24/business/china-property-crisis.html
- https://www.japantimes.co.jp/business/2024/05/31/economy/china-property-pain-persist
- https://ekonomi.bisnis.com/read/20240531/620/1770008/krisis-properti-china-60-juta-rumah-tak-ada-yang-mau-beli